slider

Widget Slideshow

saudaraku di Jogja

Rabu, 07 November 2012




Imam Syafi’i, lewat sebuah rangkaian kata mutiaranya telah turut membuka kesadaran kita, bahwa untuk bahagia –dunia dan akhirat- maka jangan pernah diam. Tetapi, teruslah bergerak di Jalan-Nya.

Hidup adalah pergerakan tiada henti. Maka, menulislah Imam Syafi’i: “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, engkau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang”.

Lantas, lelaki kelahira Gaza – Palestina dan meninggal di Kairo – Mesir itu, berkesaksian, bahwa “Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika air mengalir menjadi jernih dan jika tidak mengalir air akan keruh menggenang”.
Selanjutnya, ulama bernama lengkap Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i itu memberikan metafora, bahwa “Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tidak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran”.
Lalu, satu di antara empat Imam Mazhab itu menegaskan, bahwa “Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang”.
Terakhir, tokoh yang menjadi salah satu guru Imam Hanbali ini menyimpulkan, bahwa: “Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan”.
Imam Syafi’i benar, bahwa tak ada pilihan lain kecuali bergerak dan teruslah bergerak. Allah-lah yang meminta kita untuk aktif bergerak. “Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain ( QS Alam-Nasyrah [94]: 7).
Tampak bahwa kehidupan manusia adalah sebuah proses panjang menyelesaikan berbagai pekerjaan / masalah. Misal, jika kita selesai berdakwah, maka beribadahlah kepada Allah. Jika kita telah selesai mengerjakan shalat, maka berdoalah. Jika kita telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat.

Contoh-contoh semisal di atas tentu saja sangat bisa kita perpanjang. Intinya, jika kita telah menyelesaikan suatu rencana / urusan / pekerjaan, maka segera bersiaplah untuk memulai rencana / urusan / pekerjaan berikutnya. Dan, proses itu hanya akan berhenti jika maut menyapa kita.
Untuk itu, sadarilah, semua pekerjaan tersebut pasti tidak akan terlepas dari kesulitan (baca: ujian). Tetapi, sebagai kaum beriman, kita meyakini bahwa tak akan pernah ada kesulitan yang tak bisa kita lewati sebagaimana jaminan Allah pada ayat sebelumnya, QS Alam Nasyrah [94]: 5-6, yaitu “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.

Jika kita bertaqwa dan bertawakkal kepada Allah, akan ada saja jalan keluar. Akan datang ilham dari Allah kepada kita, dengan catatan –sekali lagi- kita selalu menyandarkan segala aktivitas hidup hanya kepada Allah. “Dan, hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS Alam Nasyrah [94]: 8).
Jika taqwa dan tawakkal telah kita peragakan dengan baik, maka janji Allah untuk memudahkan segala urusan akan segera kira rasakan buktinya. “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan … menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS Ath-Thalaaq [65]: 2-4).


Modal Tawakkal
Kapanpun, bertawakkallah! “Dan, barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya (QS Ath-Thalaaq [65]: 3). Tawakkal adalah sikap menyerahkan segenap urusan hanya kepada Allah. Sikap ini terkait dengan aqidah Islamiyyah. Siapapun yang senantiasa menyerahkan segenap urusan hidupnya hanya kepada Allah, maka akan selamatlah dia.

Tauhid menuntun kita untuk selalu menggantungkan harapan hanya kepada Allah. Untuk meneguhkan sikap tawakkal, mari baca ini: ”(Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: ‘Mereka itu (orang-orang mu’min) ditipu oleh agamanya’. (Allah berfirman): ‘Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’.” (QS Al-Anfaal [8]: 49).
Ayat di atas kerap mengingatkan kita dengan sejarah awal perkembangan Islam, yaitu terkait sikap tawakkal orang-orang beriman kepada Allah saat berperang menghadapi pasukan musyrikin yang jumlahnya lebih banyak. Di saat-saat seperti itu, tak jarang kaum munafik dan orang-orang yang berpenyakit di hatinya menilai orang-orang yang beriman bersikap naïf/konyol/tidak realistis karena  bertekad menghadapi musuh yang tidak berimbang.

Tapi, lewat sejarah, kita tahu bahwa Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang beriman yang istiqomah hanya menggantungkan harapannya –yaitu bertawakkal- kepada Allah. Di saat-saat seperti itu, mereka telah menyerahkan dirinya kepada Yang Maha Perkasa. Sepanjang sejarah, siapakah yang mampu mengalahkan Allah, Yang Maha Perkasa?

Dalam konteks ini, sekali lagi, renungkanlah: ”Rasul-Rasul mereka berkata kepada mereka: ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan, hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal. Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri’.” (QS Ibrahim [14]: 11-12).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. tinta dua dimensi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger