slider

Widget Slideshow

Muhasabah (Renungan Seorang Hamba Allah)

Rabu, 07 November 2012


Yaa Allah,
perkenankanlah hamba berserah diri,
sepenuh hati,
hanya kepada-Mu, Yaa Robbi.
Waktu demi waktu melaju.
Hari demi hari berganti.
Umur hamba bertambah, tetapi sejatinya berkurang,
karena pintu liang lahat semakin dekat,
dan siap membuka setiap saat.

Yaa Allah,

izinkan hamba menghadap-Mu dengan segenap harap.
Tak lain karena hamba dhoif, banyak salah, dan dosa.
Kesalahan telah membuat nurani hamba beku,
karena hamba sering melalaikan suruhan-Mu.
Dosa-dosa telah menjadikan hati hamba layu,
karena mudahnya hamba melanggar larangan-Mu.
Sebenarnya, dengan itu semua,
hamba malu menemui-Mu,
tak sanggup bersimpuh, menengadahkan tangan,
dan berdoa menghiba.

Tetapi, Yaa Allah, Yaa Ghoffaar.

Jika bukan mengadu dan memohon kepada-Mu,
kepada siapa lagi hamba harus berpaling.
Sebab, hamba bersaksi:
Tiada kekuasaan melampaui Kekuasaan-Mu.
Tak ada keadilan melebihi Keadilan-Mu.

Tiada kasih-sayang mengatasi Kasih-Sayang-Mu.

Sungguh,
jangan biarkan hamba tertinggal di pojok gelap sejarah,
jangan biarkan hamba terpuruk di sudut kelabu putus asa.
Maka, terimalah hamba,
menghadap, menghiba, dan meminta kepada-Mu.
Engkau sajalah yang mudah memaafkan,
ringan mengampuni,
dan enteng mengabulkan doa.

Yaa Allah, Yaa ‘Aliim.

Hamba pernah merasakan jika dikepung kegelapan
yang teramat pekat.
Tetapi, pastilah kegelapannya
tak akan melebihi gelapnya alam kubur dari mereka
yang tak pernah bersyukur kepada-Mu,
dan apalagi dari mereka yang mengingkari-Mu.

Hamba tahu, Yaa Allah.

Bahwa hamba pasti akan melewati pintu kematian,
memasuki alam kubur sambil menunggu Hari Akhir,
dan pada saatnya sampai pada Hari Perhitungan
dengan Engkau sebagai Hakim Tunggal Yang Maha Adil, Yang Maha Bijaksana,
dengan saksi malaikatMu yang suci, yang tak mungkin ‘terbeli’
sekalipun dengan harga tinggi.
Juga, ditambah saksi lain yaitu anggota badan hamba sendiri,
yang tak mungkin memberikan kesaksian palsu.
Selanjutnya, vonis jatuh: beruntung atau merugi!

Tetapi, astaghfirullah.

Pemahaman hamba tentang itu semua,
tak menyebabkan iman hamba bertambah,
ilmu hamba berkembang,
dan amal-shalih hamba tumbuh subur.

Bahkan, Yaa Allah, Yaa Wahhaab.

Hamba semakin tak tahu diri,
tak pandai berterima kasih,
tak suka bersyukur, dan tak rajin beramal shalih.

Padahal, Engkau beri hamba nikmat tiada batas.

Tetapi, adakah balasan hamba?
Sekadar sepatah kata alhamdulillah saja,
jarang hamba lafalkan,
dan apalagi sampai menempuh puncak keimanan:
Jihad fii Sabilillah.

Maafkanlah hamba, ampunilah hamba,

bahwa perilaku hamba
bukanlah seperti hamba-Mu yang pandai bersyukur
atas nikmat-Mu yang tak bertepi.
Engkau beri hamba nikmat mata.
Mata bukan milik hamba, melainkan amanah-Mu.
Semestinya, penggunaannya selalu menurut petunjuk-Mu.
Membaca Al-Qur’an  dan Al-Hadits.
Mentadabburi alam semesta untuk mendapatkan ilmu,
yang merupakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Mu,
seraya berucap:
MahaSuci Engkau, Yaa Allah
Semua yang Engkau ciptakan tiada yang sia-sia.

Seharusnya, demikian yang selalu hamba perbuat.

Tetapi, ternyata, amanah-Mu ini, titipan mata ini,
sering tak hamba gunakan untuk lebih mengenal-Mu,
buat lebih mengabdi kepada-Mu, Yaa Bashiir
Maka, inilah potret hamba:

Hamba betah berjam-jam membaca buku, novel, koran, majalah,

yang sebagiannya tak bermutu dan mengajak ke jalan yang menyimpang.
Padahal, untuk beberapa menit saja membaca Al-Qur’an dan Al-Hadits,
kami cepat bosan dan lelah.
Juga, hamba tak penat berlama-lama menonton televisi, bioskop, dan hiburan lainnya
yang sebagiannya hanya menyajikan mimpi,
dan membuat hamba terlena lemah tak punya ghirah.
Padahal, untuk beberapa saat saja
mentafakkuri semua ciptaan-Mu,
membaca ayat-ayat-Mu berupa semesta raya
beserta seluruh isi dan kejadian di dalamnya,
hamba sedemikian tak tertarik.
Aduhai, betapa rendah hamba karena tak pandai melihat, wahai Dzat Yang MahaMelihat

Engkau beri hamba nikmat telinga.

Telinga bukan kepunyaan hamba,
melainkan titipan-Mu.
Sepatutnya,
hamba sering mendengarkan Al-Qur’an dibaca,
mengikuti pengajian,
menyimak kalimat-kalimat thoyyibah disampaikan,
untuk kemudian bersaksi:
Subhanallah, MahaBenar Allah dengan segala firman-Nya
Tetapi,
bukan itu yang kerap terjadi, Yaa Samii’.
Maka, inilah profil hamba:
Bagi hamba,
mendengarkan isu atau gosip, sering lebih menarik
dibandingkan suara tadarrus Al-Qur’an.
Bagi hamba,
mendengarkan lagu-lagu cengeng tak bermakna,
acap lebih nikmat ketimbang menyimak fatwa-fatwa dari orang tua, guru, dan ulama.
Bagi hamba,
suara adzan tak cukup punya daya tarik magnetis
untuk segera membawa hamba ke masjid ‘menjumpai’-Mu.
Padahal, jika itu berupa panggilan dari panggung hiburan dan apalagi gratis,
maka hamba bergegas datang bahkan beberapa jam sebelumnya.
Aduhai,
betapa hina hamba karena tak pintar mendengar, wahai Dzat Yang MahaMendengar.
Engkau beri hamba nikmat tangan.
Selayaknya banyak hal positif yang dapat hamba hasilkan.
Mencari rizki yang halal dan baik,
membantu orang tua maupun sesama atau yang lain.
Tetapi,
bukan itu yang sering terjadi, Yaa Ghoffaar.
Maka, inilah penampilan hamba:
Tangan ini cukup mudah menggunakan barang orang lain,
tanpa izin dari pemiliknya.
Tangan ini lumayan ringan menyentuh sesuatu,
yang sesungguhnya hamba haram menyentuhnya.
Tangan ini cukup lancar mengubah angka pada kwitansi.
Tangan ini gampang berakrobat menyulap data proyek.
Aduhai, betapa lemah dan banyak salah hamba,
wahai Dzat Yang MahaPengampun.
Engkau beri hamba nikmat kaki.
Dengan kaki, ke manapun hati berkehendak dapat terturuti.
Dengan kaki, seharusnya hamba dapat menabung bakti.
Ke masjid untuk beribadah,
ke sekolah guna belajar,
ke rumah saudara muslim buat silaturrahiim,
ke bagian-bagian indah di alam ini untuk ‘menyapa’-Mu.
Tetapi,
bukan itu yang sering hamba lakukan, Yaa Aliim.
Maka, inilah citra hamba:
Kaki ini yaa Allah,
lebih sering hamba bawa ke tempat-tempat yang tak Engkau sukai.
Melangkah ke pusat keramaian dan berjalan menuju arena hiburan,
sungguh terasa ringan dan mudah.
Padahal, jika harus ‘bertamu’ ke Rumah-Mu atau menghadiri majelis pengajian,
terasa berat dan sulit.
Aduhai, betapa hamba tak tahu diri, wahai Dzat Yang MahaMengetahui.
Engkau beri hamba nikmat mulut.
Dengannya, hamba dapat makan dan minum, mengaji dan berdzikir,
saling bertegur sapa dalam irama kasih dan sayang,
saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.
Tetapi, sering bukan itu karya hamba, Yaa Lathiif.
Maka, inilah figur hamba:
Berkata-kata kasar dan buruk merupakan kegemaran.

Menggunjing adalah kesukaan.

Bahkan, jika perlu, memfitnah dapat menjadi pekerjaan sambilan.
Dari lisan hamba, berhamburan pidato sarat petuah,
tetapi sayang cepat ditelan cakrawala,
karena hamba tak mengiringinya dengan uswah.
Dari lisan hamba, bertaburan aneka slogan nan menawan,
tetapi sayang mudah disapu gelombang,
karena hamba tak menghidupkannya dengan keteladanan.
Padahal, hamba tahu, Engkau sangat tidak menyukai
mereka yang ucapannya tak sama dengan perbuatannya.
Mulut hamba tak cukup selektif untuk menyaring,
apakah makanan dan minuman yang masuk, halal atau haram.
Padahal, itu berpengaruh besar terhadap perilaku hamba,
dan menjadi ukuran ditolak atau diterimanya sebuah do’a.
Dan, inilah yang termasuk paling hamba khawatiri.
Di tengah kekurangpedulian hamba pada ajaran agama-Mu,
bukan tak mungkin dari lisan ini
muncul ucapan ‘ah!’ kepada ibu-bapak hamba.
Sungguh, betapa besar dosa yang harus hamba tanggung,
jika itu benar-benar terjadi.
Ibu? Bapak?
Oh, mengapa begitu terlambat hamba menyadari,
bahwa kepada mereka berdua
hamba harus banyak berterima-kasih.
Duh, jangankan berterima-kasih dan membalas jasa.
Sekadar bermuka manis dan menuruti nasihat-nasihatnya saja,
cukup jarang hamba lakukan.
Barangkali, dari sinilah titik asalnya.
Hamba jauh dari Al-Islam,
karena hamba tak cukup patuh pada bapak.
Hamba tak banyak beramal-shalih,
sebab hamba tak cukup taat pada ibu.
Ibu? Oh, Ibu!
Betapa kami sering menyusahkan engkau, Bunda.
Ketika kecil, tangis kami di malam hari
sering mengganggu nyenyak tidurmu.
Ketika remaja,
kenakalan kami kerap membuat engkau menangis.
Ketika dewasa,
dan tetap saja kami sering berbuat khilaf,
masih saja engkau setia menemani kami
dengan senyum yang tak pernah putus,
dengan kesabaran yang tak pernah habis,
serta dengan kasih-sayang yang tak pernah pupus.
Aduhai, begitu banyak salah dan dosa hamba, Yaa Waduud.
Maafkanlah, ibu-bapak hamba.
Ampunilah, ibu-bapak hamba.
Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi hamba
sedari kecil sampai dewasa, wahai Dzat Yang MahaPencinta.
Semua itu yaa Allah pengakuan dan pengaduan hamba.
Hamba tak pandai bersyukur kepada-Mu.
Hamba tak pandai berterima kasih kepada ibu-bapak.
Oh,
salah dan dosa hamba begitu banyak sekali,
bak hamparan pasir di pantai.
Sepertinya dengan catatan seperti itu,
hamba tak punya potongan menjadi penduduk surga.
Sepertinya dengan wajah seperti itu,
hamba tak pantas menjadi penghuni surga.
Tetapi,
sungguh sangat tak mungkin,
hamba dapat menanggung adzab neraka jahannam.
Membayangkannya saja hamba tak sanggup, tak mampu, tak tahan.
Oleh karena itu, Yaa Allah.
Maafkanlah hamba, Yaa Afuuw.
Kasihanilah hamba, Yaa Rahiim.
Ampunilah hamba, Yaa Ghofuur.
Terimalah taubat hamba, taubat sebenar-benarnya, Yaa Tawwaab.
Mudahkanlah segala urusan hamba.
Jadikanlah jalan di depan hamba serba lurus,
yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat,
dan bukan jalan mereka yang sesat.
Tetapkanlah hati hamba pada agama-Mu yang haq.
Jadikanlah Ridho-Mu puncak tertinggi cita dan cinta hamba.
Dan, semoga hamba termasuk
yang Engkau panggil dengan mesra di QS Al-Fajr 27-30:

Hai jiwa yang tenang.

Kembalilah kepada Tuhanmu

dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.

Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku.

Dan, masuklah ke dalam surga-Ku. [].
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. tinta dua dimensi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger